Masih Pantaskah Guru Digugu dan Ditiru?

Sunday 4 October 20150 komentar

Masih Pantaskah Guru Digugu dan Ditiru?

 

"Maaf pak". Saya tak bisa mendidiknya dengan baik. Saya telah gagal. Berbagai cara telah saya lakukan, mendidik dengan kasih sayang, cara halus sembari berurai air mata sering saya lakukan. Sekarang saya nyerah, pasrah dan ikut apapun keputusan sekolah terhadap anak saya yang tak mau ikut dan penurut itu.

Bagi guru, ungkapan ini tak asing. Ini adalah ungkapan keletihan, ketidakberdayaan para orang tua dalam menghadapi tingkah laku anaknya. Kepasrahan orang tua seperti ini layak untuk di apresiasi, kenapa?, karena dalam kenyataannya banyak para orang tua yang tidak mau peduli dengan pendidikan anaknya. Misanya, diundang kesekolah sering tidak datang dengan alasan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Padahal komunikasi antara guru dan orang tua menjadi salah satu kunci keberhasilan pendidikan. Orangtua tidak bisa menyerahkan semua proses pendidikan ke sekolah hanya karena merasa sudah membayar uang sekolah, uang buku, dan membelikan baju seragam untuk anaknya. Setelah semua itu dipenuhi, selanjutnya menjadi tugas guru. Kemudian orang tua menurutkan hawa nafsunya untuk mengejar materi sampai ia menjadi gelap mata. Hal ini di aminkan oleh sumber ekonomi yang sangat terbatas. Hasilnya, penghormatan kepada orang diukur dari berapa banyaknya harta yang dimiliki seseorang, bukan seberapa banyak karya yang mereka hasilkan.

Cara pandang orang tua seperti ini sering membuat para guru gagap dan gamang dalam bertindak. Dilain pihak, ketika persoalan ini bermuara dengan sangsi skorsing misalnya, kebanyakan orang tua meradang dan tidak menerima keputusan yang dibuat oleh sekolah. Kurang adil memang. Tindakan guru oleh banyak pihak sering dituding bahwa guru tidak lagi menjalankan tugas pokoknya dengan baik. Mendidik, mengajar, menilai, melatih dan mengevaluasi sebenarnya tidaklah termasuk dalam kategori pekerjaan yang ringan. Hal ini diperparah di tengah lasaknya pemerintah untuk mengutak ngatik kurikulum. Diakui, pemerintah dalam hal ini Mendikbud terkesan mendadak kreatif. Apa yang dikerjakan serba instan, namun sayang kecepatan dan kelincahannya tidak bisa diikuti oleh prajuritnya (baca guru). Apa sebab?, karena sosialisasi dan aturan main menyangkut dengan program bernas yang digadang-gadang cerdas itu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Alhasil, guru terpaksa bermain dengan logika dan penapsiran yang belum tentu sama setelah membaca seabrek peraturan menteri tentang kurikulum yang baru. Sementara perintah untuk tetap menjalankan kurikulum 2013 tak pula kuasa ditolak guru. Berharap pada pelatihan guru tentang kurikulum yang baru, sekolah yang ditunjuk saja belum mendapatkan secara maksimal, apalagi sekolah yang tidak ditunjuk akan tetapi wajib menjalankan. Lalu, entahlah.

Tak bisa dielakan lagi, beragamnya persoalan yang muncul di dunia pendidikan dewasa ini membuat posisi guru semakin terjepit. Kiranya pantas direnungkan semua pihak, kenapa kita tidak melihat persoalan ini secara utuh. Padahal, bukan tidak mungkin, tanpa disadari pihak yang menyalahkan justru punya andil besar dalam masalah itu sendiri.

Untuk memutus pola pikir yang keliru ini, kepala sekolah dituntut lebih kreatif guna memecah kebuntuan ini. Misalnya dengan cara meningkatkan pola hubungan sekolah dengan pihak orang tua harus ditambah secara kuantitatif. Tidak seperti selama ini, pertemuan antara pihak sekolah dengan orang tua masih berkutat di dua urusan yakni menjemput rapor dan membicarakan sumbangan untuk membangun ruang kelas dan prasarana lainnya. Kalaupun ada pemanggilan orang tua diluar urusan yang dua itu lebih kepada urusan personil antara wali kelas dengan orang tua yang anaknya bermasalah. Kenyataan ini belumlah cukup mewakili persoalan secara keseluruhan. Pertemuan seperti ini terasa mendesak untuk digagas guna membangun komunikasi lebih intensif antara sekolah dengan orang tua. Manalah tau strategi ini bisa membantu atau paling tidak bisa memperkecil celah siswa untuk melakukan hal-hal yang tidak kita inginkan.


Intimidasi Hambat Sekolah Untuk Mandiri dan Berkreasi

Karut marutnya dunia pendidikan dewasa ini semata-mata adalah kegagalan guru dalam mendidik. Pernyataan ini tidak benar dan tidak pula sepenuhnya salah. Masalah ini menjadi rumit dan luar biasa karena diperkeruh oleh pandangan dan pendapat kebanyakan orang yang hanya bisa saling hujat, saling maki. Anehnya lagi, semua orang minta diliput pendapat dan argumentasinya, wajah mereka cengar cengir di depan layar kaca, mimik dan ekspresinya melebihi aktor beken didepan kamera. Tidak sampai disitu, giliran media cetak yang berbicara. Mereka ahli merangkai kata. Kita memang terlalu asik untuk mencela dan menghujat. Bahkan terkesan hobinya hanya membicarakan kekurangannya saja, dan menutup rapat kelebihan orang yang kita cela.

Persoalan yang tidak kalah hebatnya adalah penerimaan peserta didik baru (PPDB). Penanganan persoalan ini belum banyak beranjak. PPDB masih dilihat sebatas masalah kecil yang ruang lingkupnya lokal. Sebagai contoh, sebutlah istilah kuota untuk satu sekolah dengan daya tampung 200 orang. Sedangkan yang mendaftar mencapai 420 orang. Penerimaan dengan sistim online belum banyak membantu. Anehnya lagi aturan mainnya sangat jelas, namun sangat disayangkan itu hanya di atas kertas.

Jujur saja, intimidasi terbesar pada sekolah itu ada pada tiap kali pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Bayangkan, calon siswa yang tidak tertampung mencapai 220 orang itu tidak mau beranjak dari keinginannya. Di sinilah para orang tua bekerja dengan sekuat tenaga di tengah galaunya pikiran. Keresahan seperti ini telah membuat sebagian orang untuk mengambil kesempatan. Gelagat ini dimanfaatkan oleh banyak orang untuk menjadi dewa penolong dengan seonggok senyuman. Mereka datang dengan kata-kata manis. Bahkan mereka tampil sebagai super hero dalam kekalutan itu. Bak gayung bersambut, para orang tua rela merogoh koceknya lebih dalam demi sekolah pilihan anaknya itu. Sedihnya, tidak banyak yang tau kalau uang yang ia keluarkan tersebut bukan untuk sekolah seperti yang disampaikan oleh dewa penolong itu, melainkan ke kantong oknum tersebut. Lagi-lagi sekolah kena getahnya. Sekolah dituduh korupsi, memungut bayaran dan cercaan lainnya.

Hebatnya lagi yang membuat kepala sekolah dan guru pusing, adalah berkeliarannya surat sakti, sms, orang yang mengaku dekat dengan kekuasaan, telepon langsung, memo dan berbagai modus lainnya. Jujur, intimidasi dari berbagai kalangan telah membuat kepala sekolah harus mengurut dada dan tak bisa berbuat apa-apa selain harus menerima. Alhasil, tak perlu kaget jika dalam satu rombongan belajar terdiri dari 50 siswa, bahkan lebih. Dengan situasi seperti ini masih pantaskah kita bicara tentang mutu?. Mirisnya lagi, ketika pihak sekolah membuat kebijakan untuk membangun ruangan belajar yang merupakan kesepakatan orang tua dan komite sekolah. Kebijakan yang tidak familiar ini telah menimbulkan kecurigaan banyak orang. Gampang ditebak, pihak sekolah kembali di hujat, dipelasah, dianggap korupsi dan lainnya. Pertanyaannya, siapa sebenarnya yang telah membuat kondisi pendidikan itu kacau?. Saya kira masyarakat sudah cerdas dan punya jawaban tentang itu.

Bagi kepala sekolah dan guru penerimaan peserta didik baru merupakan peristiwa rutinitas yang sangat melelahkan. Parahnya lagi, pihak sekolah dituntut cerdas mengatasi semua persoalan yang muncul. Anehnya, sekolah terlalu kreatif salah, tidak reaktif juga salah. Ironis bukan?. Itulah kenyataannya.

Maaf. Tulisan ini tidak bermaksud menegaskan pada masyarakat, bahwa guru telah berbuat maksimal, guru tidak pernah salah, guru telah melaksanakan tugasnya dengan baik tanpa cacat. Sekali lagi bukan itu. Melainkan, mari kita lihat permasalahan ini sebagai persoalan kita bersama. Tidak semua kesalahan mesti dialamatkan ke pihak sekolah lalu dihukum dengan ganjaran yang berat. Karena sebuah peristiwa terjadi tidak pernah berdiri sendiri.

Sekali lagi, berhentilah kita debat kusir. Jangan tutup mata ketika menyaksikan peristiwa menggenaskan sekalipun, karena kita punya bagian di sana, apapun profesi kita. Dilaian pihak guru harus selalu memacu dirinya untuk selalu terdepan. Guru harus mampu membuat siswanya punya cita-cita.

Mengutip Prof Dr Hasanuddin WS tentang guru, Pendidik yang memandang tugasnya sekedar pekerjaan mencari nafkah, tidak akan mampu mengubah masyarakat dan Negara. Negara dan rakyat, serta segenap rakyat tetap berlanjut dalam kemiskinan, bahkan akan menjadikan mereka lebih miskin lagi. Gimana Cekgu?. Tentukan sendiri, dimana posisi-mu yang sesungguhnya?.
Share this article :
 
TEMPLATE AS-SALAM| ASSALAM - All Rights Reserved
Supported : ARNICK.BLOGSPOT.COM | Creating Website | NAJIH dan ARNICK Themes