IMAM al-Ghazali merupakan ilmuan Muslim pertama yang mengkonsep ilmu
secara sistematis menjadi dua; yaitu ilmu fardhu ‘ain dan fardhu
kifayah. Konsep ini ditulis dalam salah satu magnum opusnya, Ihya’
Ulumuddin jilid pertama. Yang menarik, kitab ini ditulis pada saat umat
Islam sedang menghadapi perang salib. Hebatnya, kitab itu mampu
menyadarkan dan menghidupkan tradisi keilmuan umat Islam pada masa itu.
Poin penting yang menjadi kritikan Imam al-Ghazali adalah pengajaran
ilmu-ilmu agama yang materialistik dan mudahnya konsep-konsep asing
masuk dalam pemikiran umat Islam.
Imam al-Ghazali berjasa dalam mengajari umat bagaimana ‘membaca’ pemikiran asing dengan konsep Islam. Beliau termasuk ulama’ yang ensiklopedis. Pada usianya yang masih 33 tahun al- Ghazali telah mencapai gelar professor (al-Shaykh) di perguruan Nizamiyah, Baghdad.
Imam al-Ghazali berjasa dalam mengajari umat bagaimana ‘membaca’ pemikiran asing dengan konsep Islam. Beliau termasuk ulama’ yang ensiklopedis. Pada usianya yang masih 33 tahun al- Ghazali telah mencapai gelar professor (al-Shaykh) di perguruan Nizamiyah, Baghdad.
Dalam kitabnya Tahafut Falasifah, ia menyajikan kritik terhadap
pemikiran paripatetik (filsafat Yunani) mengenai konsep Tuhan, kejadian
alam, dan konsep manusia. Ia membersihkan konsep-konsep yang
Aristotelian, untuk dikembalikan kepada Islam.
Bersama dengan karya-karya lainnya — misalnya al-Munkidz min al-Dhalal, Bidayatul Hidayah, dan lain-lain — kitab ini sepertinya sengaja ditulis dalam rangka mencangankan sistem pendidikan Islam “berkarakter”. Imam al-Ghazali menilai, bahwa sistem pendidikan yang berkembang pada masa itu masih menyimpang jika ditinjau dari segi tujuan dan targetnya.
Bersama dengan karya-karya lainnya — misalnya al-Munkidz min al-Dhalal, Bidayatul Hidayah, dan lain-lain — kitab ini sepertinya sengaja ditulis dalam rangka mencangankan sistem pendidikan Islam “berkarakter”. Imam al-Ghazali menilai, bahwa sistem pendidikan yang berkembang pada masa itu masih menyimpang jika ditinjau dari segi tujuan dan targetnya.
Dalam kritiknya, Imam al-Ghazali menilai, pendidikan saat itu lebih
memproduksi ‘tukang’ dari pada menjadi ilmuan. Memproduksi ulama’ dunia
daripada ulama’ akhirat. Dalam pandangannya, sistem ini menjadi titik
lemat umat Islam saat itu, baik dari segi keilmuan, politik dan
peradaban.
Fenomena itu tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang terjadi dalam
pendidikan kita saat ini. Tidak sedikit pelajar-pelajar yang prestasi
di bidang sains dan teknologi. Namun belum banyak yang mampu
mensinergikan dengan pengetahuan agama. Banyak ditemui seorang insinyur
atau peneliti sains, akan tetapi malas beribadah. Dan yang paling banyak
adalah, mereka memilih profesi tersebut dan menekuni ilmu itu hanya
untuk menambah kekayaan. Mereka memilig fakultas kedokteran agar kelak
menjadi kaya.
Akibatnya, kuliah bukan karena mencintai ilmu atau menunaikan
kewajiban fardhu kifayah, tapi sekedar berburu uang. Cara pandang
demikian dapat dinilai kurang beradab. Sebab melepaskan dimensi
ketuhanan dalam aktifitas keilmuan. Cara pandang ini sangat rawan
menjadikan ilmuan yang ‘menghalalkan’ segala cara dalam aktifitasnya.
Pandangan yang tidak berkarakter tersebut disebabkan oleh sistem
pendidikan yang meninggalkan ilmu fardhu ‘ain. Sedangkan ilmu fardhu
kifayah — yang mereka tekuni — tidak dilandasi oleh ilmu fardhu ‘ain.
Padahal, kedua macam ilmu itu semestinya berjalan sinergis. Fardhu
‘ain sebagai falsafah dasar dari ilmu fardhu kifayah. Ilmu fardhu
kifayah ditopang oleh ilmu fardhu ‘ain.
Persoalan krusial lainnya, baik guru maupun pelajar Muslim belum
mengetahui ilmu-ilmu yang masuk kategori fardh ‘ain dan mana ilmu yang
masuk kelompok fardhu kifayah.
Ilmu fardhu ‘ain adalah ilmu yang wajib bagi tiap-tiap individu
Muslim mengetahuinya. Mencakup ilmu yang berkenaan dengan i’tiqad
(keyakinan). Ilmu-ilmu yang menyelamatkan dari keraguan (syakk) iman.
Tujuan ilmu ini untuk menghilangkan kekeliruan iman, dan bisa membedakan antara yang haq dan bathil.
Dimensi lain – dari ilmu fardhu ‘ain – adalah ilmu-ilmu yang
berkenaan dengan perbuatan yang wajib akan dilaksanakan. Misalnya, orang
yang akan berniaga wajib mengetahui hukum-hukum fiqih perniagaan, bagi
yang akan menunaikan haji wajib baginya memahami hukum-hukum haji. Dan
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan persoalan-persoalan yang harus
ditinggalkan seperti sifat-sifat tidak terpuji dan lain-lain.
Sedang ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang wajib dipelajari oleh
sebagian masyarakat Islam, bukan seluruhnya. Dalam fardhu kifayah,
kesatuan masyarakat Islam secara bersama memikul tanggung jawab
kefardhuan untuk menuntutnya (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin jilid 1).
Dinamisasi konsep fardhu ‘ain dan fardlu kifayah sangat signifikan
menunjang pembaharuan pendidikan yang lebih beradab. Dalam perspektif
Imam al-Ghazali, pengajaran yang baik itu bukan bersifat juz’i (parsial)
tapi kulli (komprehensif). Kulli maksudnya, kurikulum yang membentuk
kerangka utuh yang menggabungkan seluruh ilmu agama seperti tauhid,
tasawuf, dan fikih. Menggabungkan antara ilmu agama dengan keterampilan
duniawi.
Tujuan kurikulum ini adalah membentuk mental ilmuan yang holisitik – pakar di bidang ilmu aqli sekaligus tidak buta ilmu syar’i.
Berkenaan dengan konsep tersebut di atas, pembaharuan kurikulum –
dengan mengacu pada konsep al-Ghazali — tampaknya menjadi kebutuhan
pendidikan Islam Indonesia.
Sangat langka ditemui seorang ilmuan sekaligus agamawan, ulama
sekaligus cendekiawan. Padahal, dalam konteks kontemporer sekarang,
profil ulama sekaligus cendekiawan atau ilmuan sekaligus agamawan
merupakan kebutuhan. Banyak fisikawan yang cerdas, namun belum banyak
memahami ilmu syar’i, atau sebaliknya ulama tapi minim wawasan ilmu-ilmu
fardhu kifayah, seperti ilmu peradaban dan filsafat Barat, astronomi,
sains dan lain-lain. Dalam konteks sekarang – apalagi – ilmu-ilmu
peradaban asing perlu diketahui ulama’, agar teliti dan kritis jika ada
konsep-konsep ‘asing’ yang masuk ke dalam pemikiran umat.
Konsep kurikulum al-Ghazali lantas diperjelas oleh Syed Naquib
al-Attas dalam bukunya Risalah untuk Kaum Muslimin. Menurut al-Attas,
kekacauan ilmu terjadi ketika seorang pelajar mendapat pengajaran yang
tidak tepat mengenai konsep fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Kesalahan
itu terletak pada strategi pembelajaran. Yakni cara mengajarkan ilmu
fardhu kifayah yang melepaskan secara total dengan konsepsi ilmu fardhu
‘ain. Apalagi pengajar-pengajar ilmu fardhu ‘ain mengkelirukan. Yang
terjadi adalah pelajar Muslim mudah digoncangkan adab dan keimanannya
(Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin).
Dalam penjelasan al-Attas, kegoncangan adab terjadi ketika terjadi
ketimpangan praktik konsep fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Yakni
mendahulukan ilmu fardhu kifayah sebelum melandasinya dengan ilmu fardhu
‘ain. Semua ilmu pengetahuan (ilmu fardhu kifayah) harus diajarkan
berdasar kepada dan sesuai dengan cara serta tujuan dari ilmu fardhu
‘ain.
Maka dalam konteks pendidikan sekarang, diperlukan segera desain
kurikum pendidikan Islam yang berasaskan dinamisasi konsep fardhu ‘ain
dan fardhu kifayah. Dinamisasi demikianlah yang akan membentuk karakter
secara kuat terhadap pribadi anak didik. Berbeda dengan karakter
non-Muslim. Seorang ateis bisa saja memiliki karakter-karakter umum;
jujur, disiplin, bertanggung jawab, berani dan pemaaf. Namun sifat-sifat
itu tidak atas dasar iman kepada Allah.
Bagi Muslim, karakter tersebut pasti dan harus didasari atas perintah
dan keimanan kepada-Nya. Karenanya karakter orang beriman lebih kuat
dan konsisten daripadan minus iman. Inilah yang disebut adab. Seorang
ulama terkenal, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, mengatakan agar seorang
Muslim berakhlak dengan perilaku terpuji, maka akidahnya harus terbebas
dari penyimpangan. Konsep etika dalam Islam terbungkus dalam bingkai
keyakinan yang benar (al-Ghunyah li Thalibi Tariqil Haq). Karena akidah,
mengontrol aktifitas manusia. Jadi, adab itu terkait dengan tauhid.
Karena, adab kepada Allah – sebagai tingkat adab tertinggi – mewajibkan
manusia tidak mensekutukan-Nya. Oleh sebab itu, dengan adab, karakter
itu lebih terkontrol dan terdisiplin secara ruhani.
Dalam pengajaran, pendidikan berkarakter lebih tepat dipraktikkan
dengan konsepsi ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Sebab, jika ilmu
fardhu kifayah berelemen dasar fardhu ‘ain, maka dalam pengajaran
ilmu-ilmu yang disebut fardhu kifayah tidak melepaskan dari dimensi
ketuhanan. Yang berarti, karakter keilmuannya berdasarkan iman.
Tentu saja penerapan demikian tidak mudah. Namun secara mendasar
dapat dimulai dengan seperti ini; pertama-tama di dalam pendidikan dasar
dan menengah, pengajaran ilmu fardhu ‘ain diperkuat. Formatnya,
materi-materi porsi dan praktik pengajarannya akidah diperkuat.
Di antara empat bidang penting yang ditulis oleh Imam al-Ghazali
sebagai bahan pengajaran, satu di antaranya tentang membangun akidah
sebagai bidang teratas. Karena bidang ini termasuk yang wajib bagi
individu-individu Muslim mengetahuinya.
Tiga bidang lainnya berupa ilmu yang diajarkan setelah bidang
pertama, adalah kitab tentang tarbiyah ruhiyah, fiqih dan pola hubungan
dengan masyarakat (sosiologi), terakhir bidang hikmah (mencakup
ilmu-ilmu teknis, managemen dan pengetahuan-pengetahun yang dibutuhkan
oleh masyarakat). Bidang ini termasuk dalam lingkaran ilmu fardhu
kifayah.
Keempat bidang tadi dapat diajaran secara sinergis. Bidang pertama
menjadi falsafah dasar bagi pengajaran ketiga bidang setelahnya.
Di sekolah menengah misalnya, kurikulum akidah akhlak, fikih,
biologi, fisika dan lain-lain landasannya adalah pengetahuan tentang
i’tiqad Islam. Atau secara bersama disinergikan dengan bidang kedua —
yakni pendidikan ruhiyah. Bidang kedua penting dalam memperkuat karakter
ilmuan.
Tujuan bidang kedua adalah membebaskan pelajar/ilmuan dari belenggu
nafsu — misalnya takabbur, riya’, materialis, berbohong, dan lain-lain —
agar bertindak sesuai dengan perintah Allah. Sangat mungkin mengajar
biologi atau fisika dengan diramu materi-materi tarbiyah ruhiyah plus
akidah Islam. Pada level yang pendidikan tinggi, mahasiswa diberi
rangsangan untuk menggali konsep-konsep Islam yang berkaitan dengan ilmu
pengetahuan.
Dengan desain seperti ini bukan tidak mungkin kelak akan lahir,
dokter yang fakih, fisikawan yang mufassir, atau ulama’ yang
matematikawan. Profil ideal ini ada dalam sosok Fakhruddin al-Razi,
generasi ulama’ yang cendekiawan pasca Imam al-Ghazali. Di tangan
al-Razi, ilmu pengetahuan dalam dunia Islam menemukan fase gemilangnya —
setelah sekian lama membeku. Fase itu tidak mustahil terwujud di era
modern, itu jika seluruh insan pendidikan Islam menyadari pentingnya
dinamisasi epistemologi Islam ini.red